Ziddu Free File Hosting

AW Surveys

Visi

Semoga blog ini dapat berbagi ilmu kepada sesama Praktisi HR dalam Rangka Memajukan SDM Indonesia.

Senin, 26 April 2010

MENGATASI GROGI SAAT BICARA DI DEPAN PUBLIK

Seorang pecinta tulisan saya di sebuah rubrik koran lokal melontarkan pertanyaan bagaimana mengatasi grogi pada saat bicara di depan umum (publik)? Meski ia sudah mempersiapkannya sebaik mungkin tetap saja grogi. Masalah grogi adalah masalah yang dialami oleh siapa saja yang sedang belajar bicara di depan publik (selanjutnya saya sebut bicara). Keterampilan ini adalah keterampilan proses, sebuah keterampilan yang tidak datang seketika. Artinya, bila ingin mengusainya diperlukan banyak berlatih dan berlatih. Untuk mengupas masalah grogi dan cara mengatasinya saya akan menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama saya menggunakan pendekatan neurologis yakni bagaimana pikiran kita mencerna “keberadaan publik” (audience); dan pendekatan kedua adalah pendekatan praktis yakni bagaimana kiat-kiat praktis menghadapi grogi. Setidaknya, dua pendekatan itu sudah saya praktikkan dalam hidup saya. Saya dulu yang pemalu luar biasa (bayangkan dulu saya tidak berani bilang “Kiri” pada saat naik bus/angkutan umum. Takut/malu kalau banyak orang yang nengok ke arah saya). Kini saya sudah terbiasa bicara di depan publik, bahkan menjadi pembicara publik dan motivator yang dibayar. Baik, selanjutnya saya jelaskan pendekatan pertama, kenapa secara neurologis (syaraf otak) seseorang bisa menjadi grogi. Seseorang menjadi grogi atau bahkan sebaliknya menjadi senang bila di depan pulik itu sangat tergantung bagaimana syaraf otak merespon atau menanggapi sesuatu yang berada di luar, yaitu --dalam hal ini-- audience (publik). Perilaku (grogi, takut, senang dan lain-lain) merupakan hasil dari respon pikiran kita. Kalau kita merespon/menanggapi sesuatu di luar adalah sesuatu yang menakutkan, maka pikiran (syaraf) segera mengolahnya menjadi sebuah ketakutan. Sebaliknya, kalau kita meresponnya sesuatu yang menyenangkan, maka semua sel-sel dan jutaan syaraf segera mengolahnya menjadi hal yang menyenangkan. Lebih kongkritnya begini. Kalau Anda membayangkan jeruk nipis (sesuatu yang berada di luar Anda) terasa kecut, maka syaraf otak segera membayangkannya rasa kecut itu. Bahkan dengan hanya membayangkan saja air liur bisa keluar sebagai respon terhadapnya. Sebaliknya, kalau Anda membayang buah anggur yang segar, baru keluar dari kulkas, syaraf otak segera membayangkannya buah manis yang menyegarkan. Begitulah cara pikiran kita bekerja, atau meresponnya. Bila Anda menanggapinya dengan negatif makan pikiran bekerja dengan cara negatif, milyaran sel syaraf bekerja untuk memperkuat respon negatif Anda. Bila Anda meresponnya dengan cara positif, maka seluruh jaringan syaraf bekerja sekuat tenaga untuk memperkuat respon positif Anda. Audience (publik) bukanlah buah jeruk nispis yang kecut atau buah anggur yang manis menyegarkan. Audience adalah sesutau yang netral sifatnya. “Manis” dan “kecut”-nya, arau “menakutkan” (yang membuat Anda grogi) atau “menyenangkan” sangat tergantung bagaimana Anda meresponnya. Ketika Anda meresponnya sebagai seuatu yang “menakutkan” syaraf otak segera bekerja dengan cara yang negatif. Hasilnya mejadi negatif. Syaraf otak segera bekerja untuk menemukan sejumlah alasan negatif untuk meyakinkan bahwa audience itu “menakutkan”. Alasan-alasan yang ditemukan oleh pikiran negatif berupa: 1) audience terlalu banyak dan banyak orang yang sudah pintar bicara, maka saya kurang pede; 2) audience akan meneriaki “huuuuuuu……?” bila saya salah; 3) audience akan mempergunjingkan saya bila saya salah; 4) saya akan malu bila apa yang saya sampaikan tidak menarik; 5) saya akan malu bila saya salah dalam bicara nanti dan; 6) masih banyak alasan negatif yang mengantarkan Anda menjadi semakin tidak percaya diri atau grogi. Hasilnya, keringat dingin keluar, gemetar, bicara tidak lancar dan salah-salah terus selama bicara. Pada saat seperti itu, pikiran sibuk memikirkan audience yang “menakutkan” ketimbang memimikirkan materi yang sedang di sampaikan. Akan menjadi berbeda hasilnya bila Anda meresponnya secara positif. Pikran Anda akan segera mencarikan sejumlah alasan positif yang menguatkan Anda tampil lebih percaya diri. Anda akan tampil lebih percaya diri bila memandang audience sebagai: 1) sekelompok manusia yang sedang memberikan kesempatan baik pada Anda untuk bicara; 2) mereka tidak akan menghukum bila Anda keliru; 3) keliru dalam berlatih bicara adalah hal yang wajar yang dialami oleh setiap orang; 4) mereka juga belum tentu memiliki keberanian untuk bicara; 5) kalau pun ia diberi kesempatan bicara ia pasti melakukan kesalahan seperti Anda; 6) dalam sejarah belum ada audience yang “mencemooh” pembicara bila dalam menyampaikannya secara santun dan; 7) ini adalah kesempatan terbaik untuk berlatih bicara. Dengan kata lain, audiene bukan menjadi beban pikiran selama Anda bicara. Bila perlu Anda cuek-bebek (tapi sopan) selama bicara. Ketika Anda telah mengusai audience dengan cara respon positif seperti tersebut di atas, pikiran Anda tinggal fokus pada materi. Perlu dicatat bahwa mengapa seorang pembicara grogi karena pikirannya selama bicara sibuk memikirkan audiencenya yang dianggap “menakutkan”. Menakutkan atau tidaknya sangat tergantung bagaimana pikiran kita “menafsirkannya”. Bila menafsirkannya sebagai hal yang tidak menakutkan, maka pikiran akan lancar, fokus pada topik, bicara pun lancar tanpa beban grogi. Semua yang saya jelaskan di atas adalah mengunakan pendekatan neurologis. Selanjutnya saya menggunakan pendekatan praktis dalam mengatasi grogi. Sebelum saya memberikan tips bagaimana cara mengatsi grogi saat pidato perlu saya ingatkan kembali bahwa keterampilan bicara (pidato) adalah keterampilan proses. Tidak ada orang yang langsung menjadi ahli bicara. Semuanya diawali dari, malu, gemetar dengan keringat dingin, grogi dan sejuta rasa lainnya. Jangankan bagi yang belum pernah pengalaman, seorang yang sudah pengalaman pun kadang-kadang masih dihinggapi rasa kurang pede dan grogi. Jadi kalau menuggu sampai tidak ada rasa grogi, dibutuhkan waktu dan jam terbang yang lama. Butuh proses. Cara-cara berikut ini adalah cara praktis yang saya gunakan bagaimana mengatasi grogi. Pertama, tingkatkan rasa percaya diri (pede). Kalau kita pede, keberanian meningkat, tetapi kalau belum apa-apa sudah takut dulu, rasa pede mengecil. Akibatnya sudah grogi dulu sebelum bicara. Untuk bisa meningkatkan rasa pede, coba sebelum Anda bicara, Anda membayang seorang tokoh pintar bicara yang menjadi idola Anda. Setelah membayangkan secara jelas, anggap saja dia merasuk dalam jiwa Anda yang membantu Anda pada saat bicara. Anggap saja dia yang bicara, tapi bukan Anda. Kedua, berani bicara kapan dan dimana saja bila ada kesempatan tampil di depan umum. Jangan takut salah dan takut ditertawakan, bicara dan bicaralah. Kalau Anda tidak pernah mencobanya, maka tidak pernah punya pengalaman. Jangan berpikir, benar-salah, bagus-tidak, mutu-tidak, selama bicara. Pokoknya, Anda sedang uji nyali, berani atau tidak. Ketika Anda berani mencobanya, berarti nyali Anda hebat. Semakin sering Anda lakukan, semakin kuat nyalinya dan tidak takut lagi. Pokoknya Anda harus berani malu. Keitga, mulailah dari kelompok kecil. Berlatihlah bicara pada kelompok-kelompok kecil dulu seperti karang taruna, kelompok belajar, pertemuan RT/RW. Bicaralah sebisanya dan jangan buang kesempatan. Yang seperti ini sudah saya lakukan, saya mulai dari kelompok belajar, panitia seminar, dan acara-acara pengajian. Lama-ama saya biasa. Ingat Anda bisa karena biasa. Keempat, tulis dulu sebagai persiapan. Sebelum bicara, alangkah baiknya ditulis dulu topik dan urutan penyampaiannya. Sebab, tanpa ditulis dulu, biasanya lupa saat bicara dan menjadikan materinya tidak runtut. Ada dua cara dalam menulis, menulis lengkap kenudian tinggal membaca atau tulis pokok-pokonya saja. Bila Anda menulis lengkap akan sangat membantu Anda bicara, tetapi keburukannya membosankan. Apalagi intonasi bacanya jelek. Yang baik adalah pokok-pokok saja, kemudian Anda menguraiakannya saat bicara, tetapi keburukannya, Anda bisa lupa tentang datailnya. Kelima, akan lebih baik kalau memiliki kebiasaan menulis. Menulis apa saja, cerita, artikel, surat atau catatan harian. Catatan harian akan sangat membantu. Kenapa menulis? Karena dengan menulis adalah cara efektif untuk membuat sebuah “bangunan logika”, sebuah bangunan yang masuk akal. Bila Anda terbiasa menuliskan topik-topik yang masuk akal, maka akan membantu pada saat bicara. Tinggal memanggil ulang saja. Keenam, perbanyak membaca. Orang bicara atua menulis, tidak lepas dari kegiatan membaca. Dengan banyak membaca menjadi banyak pengetetahuan yang dapat dijadikan acuan pada saat bicara atau menulis. Kebuntuan dalam bicara terjadi karena tidak saja grogi tetepi juga karena terbatasnya acuan (informasi) yang dimilikinya. Ketujuh, janganlah menjadi pendiam saat ada diskusi atau debat. Bicaralah, jangan pikirkan Anda menang atau kalah dalam berdebat, tetapi jadikannlah media debat menjadi media pembelajaran dalam mengasah keterampilan bicara. Juga, biasakanlah berdsiskusi, jangan hanya menjadi pendengar yang baik (diam saja) tapi Anda harus menjadi pembicara yang baik. Kedelapan, rajin mengevaluasi diri sehabis bicara. Karena berbicara merupakan keterampilan proses, maka sebaiknya rajin mengevaluasi diri setiap saat sehabis bicara. Seringkali (pengalaman saya) saya merasa tidak puas dengan hasil akhir bicara. Selalu ada saja kekurangannya, banyak topik yang lupa tidak tersampaikan. Kekurangan ini harus menjadi catatan untuk tampil lebih baik pada kesempatan mendatang. Kesembilan, komitmen untuk terus berlatih. Tiada sukses tanpa latihan terus menerus. Tiada juara tanpa banyak latihan. Tiada bicara tanpa grogi bila hanya tampil (berlatih) satu atau dua kali saja. Bicaralah saat ada kesempatan bicara, karena keterampilan berbicara hanya dapat diperoleh dengan “berbicara” bukan dengan cara “belajar tentang”. Satu ons praktik bicara lebih baik dari pada satu ton teori berbicara. Selamat mencoba.

Tidak ada komentar: